Membaca berita dari “Antara.co.id” rasanya tetep saja pesimis. Di tulis bahwa ujian tahun depan akan ditingkatkan kualitasnya, kualitas apanya? Hak guru dikebiri begitu saja dalam hal pengambilan keputusan terhadap rangkaian proses pengajarannya. Dalam proses mengajar di wajibkan guru membuat perencanaan, pelaksanaan, hingga evaluasi. Tetapi hak untuk mengevaluasi tidak diberikan untuk ujian akhir jenjangnya. Dengan adanya ujian nasional versi pemerintah, mutlak jerih payah siswa selama setahun terakhir sekolah tidak dijadikan pertimbangan sama sekali. Padahal di situlah rekaman penting guru tentang kondisi terakhir siswa. Dari rekaman pantauan itu gurulah yg tahu persis siswa layak lulus atau tidak. Jadi tidak seperti sekarang ini penentuannya hanya diambil pada saat “ujian nasional” itu saja. Itupun tidak seluruh mata pelajaran.
Kualitas memang bisa dari segi mana saja mulai dari perencanaan, pelaksanaan, koordinasi. Tapi seberapa besar dana yg diperlukan kalo model ujian nasional tidak diubah. Pengawasan tahun 2006 sudah melibatkan pengawasan independen, tapi kebocoran dan kecurangan tetep saja terjadi di mana-mana. Seperti potret kecil yg saya ceritakan pada tulisan sebelumnya, bahwa hal2 seperti itu tidak akan bisa dihilangkan. Jika memang berniat untuk memperbaiki sistem ujian semestinya harus mengubah total. Perubahan bisa saja mencotek sistem ujian di negara lain, kalo memang tidak bisa mendapatkan solusi yg tepat.
Menurut saya kalo ujian nasional yg hanya “sekedar” begitu2 saja, dan hasil dari ujian hanya “sekedar” digunakan untuk memutuskan siswa lulus atau tidak saja, terlalu mahal biaya yang mesti dikeluarkan. Lebih-lebih membuka peluang terjadinya keculasan/kecurangan akan menambah rentetan dosa-dosa saja. Hasil ujian nasional itu tidak bisa juga digunakan untuk pertimbangan seorang siswa untuk memasuki jenjang lebih tinggi. Mengapa itu terjadi karena lembaga yg jenjangnya lebih tinggi sudah tidak lagi mempercayai hasil ujian nasional itu. Mulai dari SMP, SMA, Perguruan Tinggi, yang memiliki status “sekolah pilihan” dalam sistem penerimaan siswa baru/mahasiswa baru selalu dilakukan ujian masuk. Artinya hasil ujian nasional tidak sedikitpun dipandang.
Mereka sebenarnya tidak percaya itu karena mereka sudah tahu kondisi nyata dari sistem ujian yg ada itu memang tidak patut untuk dipercayai. Akhirnya berapa biaya yang mesti dikeluarkan hanya untuk menyaring/menyeleksi siapa yg berhak lulus atau masuk. Nah kalo ujian nasional hanya digunakan hanya sekedar begitu2 saja lebih baik Ujian Nasional ditiadakan saja, tidak perlu lagi ada ujian nasional, nambahin utang negara saja… Mikir…makanya mikir… siapa yg mesti mikir yah?
Sedikit Menyoroti Depdiknas
Saat ini sebenarnya banyak lembaga yg dibuat di lembaga departemen pendidikan tetapi fungsinya tidak optimal alias mlempem, eeee malah dibuat lembaga lain. Misalnya ada yg namanya “Pusat Kurikulum”, “Pusat Penilain Pendidikan” karena tidak begitu intens kinerjanya malah dibikin lagi BSNP. Apa-an tuh. Gaya seperti inilah pemborosan akan semakin besar, tetapi hasilnya tidak sepadan. “Rasanya” Mendiknas sekarang ini semakin jelek kinerjanya, mengatasi ujian saja “selalu gagal”. Sistem ujian dijadikannya ajang “bisnis” dengan membuat lembaga-baru seperti BSNP. Kalo menurut saya menteri kita ini tidak cocok lagi, mengingat latar belakang pendidikannya memang tidak sesuai, meskipun pekerjaannya dosen. Semestinya yg bisa didudukan sebagai menteri pendidikan adalah orang yg mengerti tentang menajemen pendidikan. Lah menteri pendidikan orang yg berlatar belakang manajemen ekonomi/bisnis. Yah wis…
Mungkin yang penyeragaman ujian tetap harus ada per propinsi gitu kalee…
Tapi saya pernah dengar obrolan: kadang2 ada sekolah yang nakal untuk menaikkan pamor sekolahnya nilai-2 anak muridnya di mark-up supaya lulus semua kalau sistimnya ujian lokalan.. jadi gimana dong?!
Menterinya ahli bisnis, makanya pendidikannya dibisniskan .. klop kan?!